Grand Theory : Teori Interaksi
Simbolik
Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik
tidak bisa dilepaskan dari pemikiran
George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yaitu “The
Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”.
Dikarenakan Mead tinggal di Chicago selama lebih kurang 37 tahun, maka
perspektifnya seringkali disebut sebagai Mahzab Chicago.
Dalam terminologi yang dipikirkan
Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan
kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi
merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh
simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut.
Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan,
pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan
oleh orang lain.
Sesuai
dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :
a. Mind (pikiran)
- kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama,
dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi
dengan individu lain.
b. Self
(diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme
simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan
tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.
c. Society
(masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan
oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat
dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
Tiga tema
konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara
lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi
perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan
dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada
akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses
interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama dimana
asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia, bertindak, terhadap,
manusia, lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka,
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui
proses interpretif .
2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept)
Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri
melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan
orang lainnya dengan cara antara lain : Individu-individu mengembangkan konsep
diri melalui nteraksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang
penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : ”The
particular kind of role thinking – imagining how we look to another person” or
”ability to see ourselves in the reflection of another glass”.
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara
kebebasan individu dan masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku
tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan
yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk
menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial.
Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah : Orang dan kelompok masyarakat
dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui
interaksi sosial
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan
interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi
dua Mahzab, dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu :
1. Mahzab
Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer : Blummer memberikan pengembangan dalam pikiran-pikiran mead menjadi tujuh buah
asumsi yang mempelopori pergerakan mazhab Chicago baru.
Tujuh asumsi
tersebut adalah :
Manusia
bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada
mereka, Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi
melalui sebuah proses interpretif, Individu-individu mengembangkan konsep diri
melalui interaksi dengan orang lain, Konsep diri memberikan sebuah motif
penting untuk berperilaku, Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses
budaya dan sosial, Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
2.
Mahzab Iowa yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan
Kimball Young
Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan
mahasiswanya, dengan melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini
banyak menganut tradisi epistemologi dan metodologi post- positivis yang
mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori
sebelumnya, yaitu memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit.
Tokoh teori interaksi simbolik antara lain : George
Herbert Mend, Herbert Blumer, Wiliam James, Charles Horton Cooley.
Teori interaksi simbolik menyatakan bahwa interaksi sosial adalah interaksi
symbol. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol
yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Asumsi-asumsi: a. Masyarakat
terdiri dari manusia yang berinteraksi melalui tindakan bersama dan membentuk
organisasi. b. Interaksi simbolik mencangkup pernafsiran tindakan. Interaksi
non simbolik hanyalah mencangkup stimulus respon yang sederhana.
Pelapisan Sosial /Stratifikasi Sosial
Pelapisan
sosial adalah perbedaan tinggi rendah kedudukan seseorang/sekelompok orang
dibandingkan dengan sseseorang atau sekelompok orang lain dalam masyarakat.
Pelapisan sosial dapat terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara lain
ekonomi, politik, sosial.
1. Sistem Pelapisan Sosial
Menurut
status kependudukan asli atau pendatang misalnya di daerah Jawa dengan adanya
cikal bakal yaitu orang yang merintis tinggal didaerah tersebut dan mempunyi
keturunan di daerah tersebut, womg baku yaitu orang yang mempunyai saudara,
tanah, dan lahir di daerah tersebut, pendatang yaitu orang yang membeli tanah
dan membangun didaerah tersebut. Sedangkan di Sumatra Utara ada yang disebut
dengan Sipunta huta/bangsa taneh yaitu keturunan nenek moyang dan penduduk pendatang.
2. Diferensiasi Sosial Diferensiasi sosial ialah
perbedaan sosial dalam masyarakat secara horisontal. Bentuk diferensiasi sosial
yaitu diferensiasi jenis kelamin, diferensiasi agama, diferensiasi profesi dsb.
Interaksi
Simbolik : Teori ini menyatakan bahwa Interaksi sosial pada hakekatnya adalah
Interaksi simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara
menyampaikan simbol, yang lain memberi makna atas simbol tersebut.
Stratifikasi
Sosial/Pelapisan Sosial : Adalah pembedaan tinggi rendah kedudukan sekelompok
orang atau seseorang di bandingkan dengan seseorang atau sekelompok orang dalam
masyarakat. Pelapisan Sosial dapat terjadi karena pengaruh berbagai kriteria, antara
lain:
1. Ekonomi (kekayaan)
2. Politik (Kekuasaan)
3. Sosial (Martabat)
Pengertian
Berfikir : Adalah proses memahami natalitas dalam rangka mengambil kesimpulan
dan menghasilkan masalah baru. Cara orang berfikir yaitu dengan menggunakan Austik
(melamun, fantasi, berkaca dll) dan dengan realiustik (nalar, sesuai
dengan dunia nyata).
Persepsi :
Adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga memperoleh engetahuan sesuai
dengan yang di inginkan atau dengan kata lain adalah proses memberi makna pada stimuli
inderawi.
Adapun faktor personal yang mempengaruhi persepsi
adalah :
1. Perhatian (Attention)
2. Faktor biologis
3. Faktor Psikologis
Pengertian
Memori : Adalah sistem ingatan yang sanggup merekam fakta dan dapat di gunakan
untuk membimbing perilaku manusia.
Proses memori :
· Perekaman (Encoding) adalah pencatatan informasi melalui
reseptor indera
· Penyimpanan (Storage) menentukan berapa lama
informasi tersebut bersama kita
· Pemanggilan (Retrieval) mengingat kembali informasi
yang telah tersimpan.
Mekanisme Memori :
Mekanisme memori hendak menjelaskan cara kerja memori,
mengapa kita ingatsesuatu dan melupakan yang lainnya.
Prespektif interaksi simbolik,
perilaku manusia harus di pahami dari sudut pandang subyek. Dimana teoritis
interaksi simbolik ini memandang bahwa kehidupan sosial pada dasarnya adalah
interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol, (D.Mulyana, 2001: 70). Inti
pada penelitian ini adalah mengungkap bagaimana cara manusia menggunakan
simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang akan mereka sampaikan dalam
proses komunikasi dengan sesama.
Penggunaan simbol yang dapat
menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah sebuah proses yang interpretasi
yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari proses
interaksi sosial.
Makna adalah produk interaksi
sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan
dalam penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu
menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan atau peristiwa (
bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan atau peristiwa itu).(Arnold M Rose
1974:143 dalam D.Mulyana 2001:72).
Terbentuknya makna dari sebuah
simbol tak lepas karena peranan individu yang melakukan respon terhadap simbol
tersebut. Individu dalam kehidupan sosial selalu merespon lingkungan termasuk
objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) yang kemudian
memunculkan sebuah pemaknaan . Respon yang mereka hasilkan bukan berasal dari
faktor eksternal ataupun didapat dari proses mekanis, namun lebih bergantung
dari bagaimana individu tersebut mendefinisikan apa yang mereka alami atau
lihat. Jadi peranan individu sendirilah yang dapat memberikan pemaknaan dan
melakukan respon dalam kehidupan sosialnya.
Namun, makna yang merupakan hasil
interpretasi individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan
perubahan dari faktor-faktor yang berkaitan dengan bentuk fisik (benda) ataupun
tujuan (perilaku manusia) memungkinkan adanya perubahan terhadap hasil
intrepetasi barunya. Dan hal tersebut didukung pula dengan faktor bahwa
individu mampu melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya
sendiri. Proses mental tersebut dapat berwujud proses membayangkan atau
merencanakan apa yang akan mereka lakukan. Individu dapat melakukan antisipasi
terhadap reaksi orang lain, mencari dan memikirkan alternatif kata yang akan ia
ucapkan.
Menurut pandangan Mead, perilaku
manusia sebagai sosial dan berbeda dengan perilaku hewan yang pada umumnya
ditandai dengan stimulus dan respon. Perilaku merupakan produk dari penafsiran
individu atas objek di sekitarnya.makna yang mereka berikan kepada objek
berasal dari interaksi sosial dan dapat berubah selama interaksi itu
berlangsung.
Hal tersebut di atas senada dengan
apa yang bisa kita lihat dari penampilan fisik atau budaya material kaum Punk.
Dimana pola pemaknaan yang terjadi dalam masyarakat terhadap kaum Punk adalah
berkonotasi negatif. Penampilan dengan gaya pakaian yang terkesan kumal, penuh
dengan aksesoris sangar seperti Peniti yang dijadikan hiasan di wajah yang pada
akhirnya membentuk respon masyarakat kepadanya.
Konsep tentang “self ” atau
diri merupakan inti dari teori interaksi simbolik. Mead menganggap konsep diri
adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang
lain ( D. Mulyana, 2001:73 ).
Dalam Mind, Self and Society (1934)
Mead pun menanyakan “bagaimana seorang individu bisa keluar dari dirinya
sendiri untuk menjadi objek lagi bagi dirinya sendiri?”, lanjut Mead, “…melalui
proses tingkah laku atau aktivitas sosial dimana individu yang ada di simpulkan
……….individu mengalami dirinya sendiri semacam itutidak secara langsung, dari
perlakuan individu lain dari kelompok sosial yang sama …..dia menjadi objek
untuk dirinya sendiri seperti orang lain menjadi objek bagi dirinya.”( R.
Soeprapto, 2002:205).
Diri sendiri “ the self ”,
dalam pandangan ahli interaksionalisme simbolik merupakan obyek sosial dalam
hubungan dengan orang lain disebuah proses interaksi. Dengan demikian, individu
melihat dirinya sendiri ketika ia berinteraksi dengan orang lain.
Bagi Mead, kesadaran akan “diri”
berarti menjadi suatu “diri” dalam pengalaman seseorang sejauh “suatu sikap
yang dimilikinya sendiri membangkitkan sikap serupa dalam upaya social .
kesadaran akan konsep “diri” akan muncul ketika individu memasuki pengalaman
dirinya sendiri sebagai suatu obyek.
Teori Interaksi Simbolik yang masih
merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad
ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang
sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi
dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Interaksi simbolik menurut
perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam
studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007:
40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai
individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini
menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan,
berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah
pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan
bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan
mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Teori interaksi simbolik menekankan
pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan
ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini
yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep
sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara
langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang
lain.
Menurut Ralph Larossa dan Donald C.
Reitzes (1993)dalam West- Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya
menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia,
bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia
membentuk perilaku manusia.
Interaksi simbolik ada karena
ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind)
mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan
bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah
masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat
oleh Douglas (1970)dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari
interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan
membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide
dasar dari interaksi simbolik, antara lain: (1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan
untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap
individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu
lain, (2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu
dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme
simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan
tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan (3) Masyarakat (Society)
adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan
oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat
dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.
”Mind, Self and Society” merupakan
karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934dalam West-Turner.
2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan
asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi
simbolik.
Tiga tema konsep pemikiran George
Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
a. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
b. Pentingnya konsep mengenai diri,
c. Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema pertama pada interaksi simbok
berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam
teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena
awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara
interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna
yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh
asumsi karya Herbert Blumer (1969)dalam West-Turner (2008: 99) dimana
asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: Manusia bertindak terhadap manusia
lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka, Makna
diciptakan dalam interaksi antar manusia, Makna dimodifikasi melalui proses
interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik
berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema
interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui
individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang
lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes
(1993) dalam West-Turner (2008: 101), antara lain: Individu-individu
mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, Konsep diri
membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksi
simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat,
dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap
individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang
ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk
menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-
asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh
proses budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi
sosial.
Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya
mengenai tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan
interaksi simbolik, dan tujuh asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah
sebagai berikut:
Tiga tema konsep pemikiran Mead
• Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
• Pentingnya konsep diri,
• Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tujuh asumsi karya Herbert Blumer
- Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka,
- Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia
- Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,
- Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
- Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,
- Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
- Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Midrange Theory : Groupthink
Teori
Pemikiran Kelompok (groupthink)
lahir dari penelitian panjang Irvin L Janis. Janis menggunakan istilah groupthink untuk
menunjukkan satu mode berpikir sekelompok orang yang sifat kohesif (terpadu),
ketika usaha-usaha keras yang dilakukan anggota-anggota kelompok untuk
mencapai kata mufakat. Untuk mencapai kebulatan suara klompok ini
mengesampingkan motivasinya untuk menilai alternatif-alternatif tindakan secara
realistis. Grouptink dapat didefinisikan sebagai suatu situasi dalam proses
pengambilan keputusan yang menunjukkan timbulnya kemerosotan efesiensi mental,
pengujian realitas, dan penilaian moral yang disebabkan oleh tekanan-tekanan
kelompok (Mulyana, 1999).
West dan Turner
(2008: 274) mendefinisikan bahwa pemikiran kelompok (groupthink) sebagai suatu
cara pertimbangan yang digunakan anggota kelompok ketika keinginan mereka akan
kesepakatan melampaui motivasi mereka untuk menilai semua rencana tindakan yang
ada. Jadi groupthink
merupakan proses pengambilan keputusan yang terjadi pada kelompok yang sangat
kohesif, dimana anggota-anggota berusaha mempertahankan konsensus kelompok
sehingga kemampuan kritisnya tidak efektif lagi.
Anggota-anggota
kelompok sering kali terlibat di dalam sebuah gaya pertimbangan dimana
pencarian konsensus lebih diutamakan dibandingkan dengan pertimbangan akal
sehat. Anda mungkin pernah berpartisipasi di dalam sebuah kelompok dimana
keinginan untuk mencapai satu tujuan atau tugas lebih penting daripada
menghasilkan pemecahan masalah yang masuk akal. Kelompok yang memiliki
kemiripan antaranggotanya dan memiliki hubungan baik satu sama lain, cenderung
gagal menyadari akan adanya pendapat yang berlawanan. Mereka menekan konflik
hanya agar mereka dapat bergaul dengan baik, atau ketika anggota kelompok tidak
sepenuhnya mempertimbangkan semua solusi yang ada, mereka rentan dalam groupthink.
Dari sini, groupthink meninggalkan
cara berpikir individu dan menekankan pada proses kelompok. Sehingga pengkajian
atas fenomena kelompok lebih spesifik terletak pada proses pembuatan keputusan
yang kurang baik, serta besar kemungkinannya akan menghasilkan keputusan yang
buruk dengan akibat yang sangat merugikan kelompok. Janis juga menegaskan bahwa
kelompok yang sangat kompak dimungkinkan karena terlalu banyak menyimpan
energi untuk memelihara niat baik dalam kelompok ini, sehingga mengorbankan
proses keputusan yang baik dari proses tersebut. adapun proses dalam pembuatan
keputusan dalam kelompok, secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
Esensi
Teori
Groupthink merupakan
teori yang diasosiasikan dengan komunikasi kelompok kecil. Lahirnya konsep
groupthink
didorong oleh kajian secara mendalam mengenai komunikasi kelompok yang telah
dikembangkan oleh Raimond Cattel (Santoso & Setiansah, 2010:66). Melalui
penelitiannya, ia memfokuskannya pada keperibadian kelompok sebagai tahap awal.
Teori yang dibangun menunjukkan bahwa terdapat pola-pola tetap dari perilaku
kelompok yang dapat diprediksi, yaitu:
1.
Sifat-sifat dari kepribadian kelompok
2.
Struktural internal hubungan antar anggota
3.
Sifat keanggotaan kelompok.
Temuan teoritis
tersebut masih belum mampu memberikan jawaban atas suatu pertanyaan yang
berkaitan dengan pengaruh hubungan antar pribadi dalam kelompok. Hal inilah
yang memunculkan suatu hipotesis dari Janis untuk menguji beberapa kasus
terperinci yang ikut memfasilitasi keputusan-keputusan yang dibuat kelompok.
Hasil pengujian yang
dilakukan Janis menunjukkan bahwa terdapat suatu kondisi yang mengarah pada
munculnya kepuasan kelompok yang baik. Asumsi penting dari groupthink, sebagaimana
dikemukakan Turner dan West (2008: 276) adalah:
1.
Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mekmpromosikan kohesivitas
tinggi.
2.
Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu
3.
Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat
kompleks
Perhatikan kisah di
awal, upaya LSM Bumi Hijau membangun kohesivitas berimplikasi pada pengabaian
pendapat personal yang bisa jadi pendapatnya lebih rasional. Kohesivitas ini
dibangun atas semangat perjuangan bersama, semangat pengabdian melalui sebuah
lembaga nonpemerintah.
Hasil akhir dari
analisis Janis menunjukkan beberapa dampak negatif dari pikiran
kelompok dalam membuat keputusan, yaitu.
a.
Diskusi amat terbatas pada beberapa alternatif keputusan saja
b.
Pemecahan masalah yang sejak semula sudah cenderung dipilih, tidak lagi
dievaluasi atau dikaji uang
c.
Alternatif pemecahan masalah yang sejak semula ditolak, tidak pernah
dipertimbangkan kembali
d.
Tidak pernah mencari atau meminta pendapat para ahli dalam bidangnya.
e.
Kalau ada nasehat atau pertimbangan lain, penerimaannya diseleksi karena ada
bias pada pihak anggota.
f.
Cenderung tidak melihat adanya kemungkinan-kemungkinan dari kelompok lain
akan melakukan aksi penantangan, sehingga tidak siap melakukan antisipasinya.
g.
Sasaran kebijakan tidak disurvai dengan lengkap dan sempurna.
Ilustrasi Janis
selanjutnya mengungkapkan kondisi nyata suatu kelompok yang dihinggapi
oleh pikiran kelompok, yaitu dengan menunjukkan delapan gejala perilaku
kelompok sebagai berikut:
1.
Persepsi yang keliru (illusions),
bahwa ada keyakinan kalau kelompok tidak akan terkalahkan.
2.
Rasionalitas kolektif, dengan cara membenarkan hal-hal yang salah sebagai
seakan-akan masuk akal.
3.
Percaya pada moralitas terpendam yang ada dalam diri kelompok.
4.
Streotip terhadap kelompok lain (menganggap buruk kelompok lain).
5.
Tekanan langsung pada anggota yang pendapatnya berbeda dari pendapat kelompok.
6.
Sensor diri sendiri terhadap penyimpangan dari sensus kelompok.
7.
Ilusi bahwa semua anggota kelompok sepakat dan bersuara bulat.
8.
Otomatis menjaga mental untuk mencegah atau menyaring informasi-informasi yang
tidak mendukung, hal ini dilakukan oleh para penjaga pikiran kelompok (mindguards).
Berdasarkan
penelitian yang berkembang pada periode selanjutnya, ada beberapa hipotesis
mengenai faktor-faktor determinan yang terdapat pada pikiran kelompok.
a.
Faktor antesenden.
Kalau hal-hal yang
mendahului ditujukan untuk meningkatkan pikiran kelompok, maka keputusan yang
dibuat oleh kelompok akan bernilai buruk. Akan tetapi kalau hal-hal yang
mendahului ditujukan untuk mencegah pikiran kelompok, maka keputusan yang akan
dibuat oleh kelompok akan bernilai baik.
b.
Faktor kebulatan suara
Kelompok yang
mengharuskan suara bulat justru lebih sering terjebak dalam pikiran kelompok,
dari pada yang menggunakan sistem suara terbanyak.
c.
Faktor ikatas sosial-emosional
Kelompok yang ikatan
sosial emosionalnya tinggi cenderung mengembangkan pikiran kelompok. Sedangkan kelompok
yang ikatannya lugas dan berdasarkan tugas belaka cenderung lebih rendah
pikiran kelompoknya.
d.
Toleransi terhadap kesalahan
Pikiran
kelompok lebih besar kalau kesalahan-kesalahan dibiarkan dari pada tidak
ada toleransi atas kesalahan-kesalahan yang ada.
Narrow
Theory
Narrow teori
menitik beratkan pada orang-orang tertentu pada waktu tertentu.misalnya aturan-aturan
komunikasi dalam sebuah konflik umum.
Ada beberapa
konflik misalnya dalam sebuah stand point theory harapan bahwa koreksi tentang
sebab perempuan harus dimodifikasi dengan menghubungkan pada tingkatan dan ras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar